Oleh: Ahmad Harisuddin
A. Pendahuluan
Sejarah pendidikan Islam dapat ditelusuri sejak masa paling awal sejarah pembentukan agama ini. Sebab, sebagai sebuah proses, pendidikan Islam lahir seiring dengan lahirnya agama Islam itu sendiri. Dengan demikian, periodesasi pendidikan Islam selalu berada dalam periode sejarah Islam, yang secara garis besarnya dapat dibagi ke dalam tiga periode, yaitu periode klasik, pertengahan dan modern. Kemudian perinciannya dapat dibagi lima periode, yaitu: Periode Nabi Muhammad SAW (571-632 M), periode Khulafa ar Rasyidin (632-661 M), periode kekuasaan Daulah Umayyah (661-750 M), periode kekuasaan Abbasiyah (750-1250 M) dan periode jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad (1250 M-sekarang).
Tulisan ini bermaksud mengidentifikasi tampilan pendidikan Islam dalam sejarah pemerintahan Bani Umayah di Damaskus. Sesuai ilmu pendidikan Islam yang bercorak historis, pembahasan dalam tulisan ini juga diarahkan untuk menganalisis beberapa fakta historis yang dapat dihubungkan dan dikomparasikan dengan sistem pendidikan Islam kontemporer.
B. Riwayat Singkat Pemerintahan Bani Umayah
Dinasti Bani Umayah didirikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan ra. sekitar pertengahan dekade 50-an Hijriyah, ketika ia menobatkan anaknya, Yazid bin Mu’awiyah, sebagai putra mahkota. Namun, sesungguhnya Sejarah pembentukan dinasti Umayyah bermula pada era dualisme kepemimpinan di dunia Islam pasca wafatnya Khalifah ‘Alî ra. tanggal 17 Ramadlan tahun 40 H / 660 M. Dinamakan dualisme, karena pada satu pihak Mu’âwiyah ra. dibai’at sebagai khalifah oleh penduduk Syâm, sementara al-Hasan ibn ‘Alî ra. juga dinobatkan sebagai khalifah oleh sebagian sahabat dan penduduk Kufah pada tanggal 25 Ramadlan 40 H.
Melihat gelagat yang tidak baik, al-Hasan ra. segera berdamai dengan Mu’âwiyah ra. Karakter al-Hasan ra. memang sangat benci pertumpahan darah sesama muslim, sehingga secara prinsipil ia memandang bahwa kemaslahatan itu terletak pada kesatuan dan meninggalkan pertempuran. Menurut Ahmad Syalabi, mundurnya al-Hasan ra. disertai syarat agar jabatan khalifah sepeninggalnya nanti diputuskan berdasarkan musyawarah di antara sesama kaum Muslimin. Akan tetapi, tampaknya Mu’awiyah ra. menganggap batal syarat itu dengan meninggalnya al-Hasan ra. terlebih dahulu di sekitar tahun 47-51 H. Bahkan, secara sepihak ia menobatkan anaknya sendiri sebagai calon pengganti khalifah sepeninggal dirinya nanti.
Hal ini memicu penentangan para sahabat Nabi yang masih hidup kala itu, sehingga umat Islam banyak yang beroposisi secara frontal terhadap Dinasti Umayah yang dalam perkembangannya kemelut tersebut berpuncak pada peristiwa Karbala tahun 61 H dan peristiwa terbunuhnya ‘Abdullah ibn al-Zubair ra. di Masjid al-Haram tahun 73 H.
Secara kronologis, pemerintahan Bani Umayah yang beribukota di Damaskus, Syam (Suriah sekarang) dimulai dengan khalifah pertamanya yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan ra. (periode 41-60 H) yang menerima mandat kepemimpinan secara resmi dari al-Hasan bin ‘Ali ra. Khlaifah kedua adalah Yazid bin Mu’awiyah (periode 60-61 H) yang meninggal secara mendadak di saat tentaranya menyerang kota Makkah. Khalifah ketiga adalah putranya sendiri yang masih belia, Mu’awiyah bin Yazid yang hanya memerintah selama beberapa bulan, lalu kemudian meninggal dunia.
Dengan meninggalnya Mu’awiyah bin Yazid, Dinasti Umayah menjadi kacau karena terjadi perebutan kekuasaan antar klan. Proses perebutan kekuasaan ini akhirnya dimenangkan oleh Marwan bin al-Hakam sehingga menjadi khalifah keempat (periode 61-63 H). Munculnya Marwan sekaligus berarti bahwa kepemimpinan Dinasti Umayah telah berpindah dari klan Abu Sufyan kepada klan al-Hakam.
Di bawah pemerintahan ‘Abd al-Malik bin Marwan, Dinasti Umayah mengalami penguatan politik yang luar biasa sehingga stabilitas dalam negeri dapat dikendalikan. Hal ini membuka jalan lebar bagi pemerintahan putranya, al-Walid bin ‘Abd al-Malik (antara 707-714 M) untuk mengisi zaman yang kondusif tersebut dengan berbagai kebijakan fisik dan non fisik yang berdampak positif bagi kemajuan Islam. Hal ini berlangsung terus di masa pemerintahan saudaranya, Sulayman bin ‘Abd al-Malik pada 96-99 H / 715-717 M) dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz antara 99-101 H./ 717-720 M. Bahkan, pada masa ini dapat dikatakan pemerintahan berjalan kembali seperti zaman Khulafa al-Rasyidin, di mana antara kebijakan bidang agama dengan sektor-sektor lain tidak dipisahkan.
Akan tetapi, sepeninggal ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz, Dinasti Umayah kembali mengalami degradasi moral dan politik, sehingga berakhir dengan penggulingan kekuasaan oleh Dinasti Abbasiyyah yang didukung oleh militer Khurasan dan propaganda Syi’ah.
C. Peta Pendidikan Islam di Masa Pemerintahan Bani Umayah
Untuk memetakan sejarah pendidikan di suatu kawasan dalam suatu kurun tertentu, ada beberapa sudut pandang yang dapat dijadikan kerangka deskripsi sekaligus pisau analisisnya, antara lain pendidikan sebagai sistem, pendidikan sebagai institusi, dan pendidikan sebagai sektor kehidupan. Pada tulisan ini, penulis mencoba memetakan praktek pendidikan Islam di masa pemerintahan Bani Umayah sebagai sebuah sistem.
Sebagai sebuah sistem, pendidikan sebenarnya dapat – dan seyogyanya – dilihat dari beberapa aspek yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu aspek tujuan, metode, materi (kurikulum), pendidik, anak didik, instrumen pendidikan, dan lingkungan. Akan tetapi, terkait dengan sejarah pendidikan Islam di masa Bani Umayah, sistem pendidikannya masih cukup sederhana, sehingga relatif sulit untuk memetakannya sesuai lokus dan pandangan masa kini.
Dari penelusuran terhadap beberapa literatur kesejarahan, peta pendidikan Islam di masa pemerintahan Bani Umayah ini setidaknya dapat dipahami dari tiga sudut pandang, yaitu materi pendidikan (aspek ontologis), bentuk pendidikan yang mencakup metode, anak didik, pendidik, instrumen, dan lingkungan (aspek epistemologis), dan tujuan pendidikan (aspek aksiologis). Dari tiga sudut pandang ini, diharapkan tergambar peta sistem pendidikan Islam di masa Dinasti Umayah.
Berikut akan dikemukakan secara sederhana aplikasi dari tiga sudut pandang di atas:
1. Segi Materi Pendidikan (aspek ontologis)
Secara ontologis, pendidikan dapat dipahami dari dua ranah, yaitu ranah personal dan ranah sosial. Pendidikan pada ranah personal memiliki fokus utama pada pengembangan potensi dasar manusia; dan pada ranah sosial memfokuskan kepada pewarisan nilai-nilai budaya dari satu generasi kepada generasi lain agar nilai-nilai itu terus hidup di masyarakat.
Pada masa Pemerintahan Bani Umayah, ontologi pendidikan Islam ini tergambar dari materi pendidikan yang bersumber dari Alquran dan hadis. Kedua sumber ajaran Islam ini diajarkan atau ditransmisikan melalui sistem periwayatan (al-ma’tsur) yang ketat. Oleh karenanya, istilah menuntut ilmu di masa itu lebih identik dengan menuntut atau mencari dan mengkonfirmasikan hadis-hadis, sehingga setiap materi yang belakangan termasuk dalam disiplin tafsir dan ‘ulum al-Qur’an, fiqh, akidah, akhlak (tasawuf), tata bahasa Arab (nahwu), dan tarikh (sejarah) di kala itu masih sangat tergantung dengan sistem periwayatan ini.
Sungguhpun demikian, menjelang akhir abad I H mulai muncul wacana tentang takdir dan hubungannya dengan posisi manusia, sehingga secara perlahan sistem penalaran juga mulai berkembang di dunia Islam. Dari sinilah bisa dibaca perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan sahabat dan tabiin tentang penggunaan nalar dalam beragama, seperti kebolehan menggunakan pikiran dalam menafsirkan atau mengambil konklusi hukum dari Alquran, sehingga kemudian dikenal istilah ahl al-atsar dengan ahl al-ra’yi. Namun terlepas dari silang pendapat itu, satu hal yang patut digarisbawahi adalah bahwa materi pendidikan Islam mulai kelihatan semakin bervariasi, di mana sudah terdapat konsentrasi kajian tafsir, konsentrasi fiqh, konsentrasi akidah, konsentrasi qira’ah, konsentrasi hadis, dan sebagainya.
2. Bentuk Pendidikan (Aspek Epistemologis)
Di masa Bani Umayah sudah terdapat klasifikasi bentuk pendidikan kepada pendidikan formal dan nonformal. Sesuai klasifikasi ini, Charles Michael Stanton menyatakan bahwa pendidikan formal adalah pendidikan yang kurikulumnya murni mencakup ilmu-ilmu agama normatif, sedangkan pendidikan nonformal juga memuat kurikulum umum seperti kedokteran dan sebagainya. George Makdisi menamakan kedua bentuk pendidikan Islam klasik ini sebagai pendidikan eksklusif untuk yang formal dan pendidikan inklusif untuk yang nonformal.
Adapun dalam tinjauan filsafat, secara epistemologis di dalam filsafat Islam dikenal istilah metode bayani, burhani, dan ‘irfani. Terkait dengan pembahasan makalah ini, pendidikan Islam di masa Dinasti Umayah tampaknya masih didominasi oleh metode bayani, terutama selama abad I H di mana pendidikan bertumpu dan bersumber pada nash-nash agama yang kala itu terdiri atas Alquran, sunnah, ijmak, dan fatwa sahabat. Baru pada masa-masa akhir pemerintahan Umayah metode burhani mulai berkembang di dunia Islam, seiring dengan giatnya penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.
Dengan metode bayani, pendidikan Islam kala itu lebih bersifat eksplanatif, yaitu sekedar menjelaskan ajaran-ajaran agama saja. Secara khusus, metode ceramah dan demonstrasilah yang banyak digunakan dalam institusi-institusi pendidikan yang ada di zaman itu. Kompetisi ilmiah yang ada lebih didominasi oleh sejauhmana kemampuan seseorang untuk menelusuri mata rantai ilmu atau pemahaman keagamaan yang dimilikinya.
Seperti disinggung di atas, masa Dinasti Umayah adalah seiring dengan masa sahabat kecil (junior) atau tabi’in besar (senior) yang secara keilmuan lebih dicirikan dengan penyebaran hadis (intisyâr al-riwâyah) ke luar jazirah Arab, bahkan ke luar Timur Tengah. Dalam konteks ini, terjadi perkembangan yang luar biasa dibandingkan pada masa khulafa al-rasyidin. Usaha untuk mencari dan menghafal hadis lebih digalakkan lagi, sehingga di beberapa daerah kekuasaan Islam telah didirikan perguruan untuk mengajarkan Alquran dan hadis Nabi saw. Bentuk kelembagaan pendidikan Islam kala itu sebenarnya masih meneruskan bentuk-bentuk yang dikenal sebelumnya, yaitu kuttab dan halaqah. Sedangkan lembaga pendidikan yang relatif baru kala itu adalah majelis sastra dan pendidikan privat di istana. Adapun madrasah belum dikenal dalam pengertian sekarang, meskipun sering ditemukan istilah madrasah tafsir atau madrasah tasawuf.
Berikut akan dikemukakan lembaga-lembaga atau pusat-pusat pendidikan Islam di masa Dinasti Umayah yang mencakup, kuttab, halaqah (mesjid), privat istana, majelis sastra, dan perpustakaan.
a. Kuttab
Kuttab secara kebahasaan berarti tempat belajar menulis. Istilah sejenisnya adalah maktab. Di dalam sejarah pendidikan Islam, kuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Alquran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam. Adapun cara yang dilakukan oleh pendidik, di samping mengajarkan Alquran mereka juga mengajar menulis dan tata bahasa serta tulisan. Perhatian mereka bukan tertumpu mengajarkan Alquran semata dengan mengabaikan pelajaran yang lain, akan tetapi perhatian mereka pada pelajaran sangat pesat. Menurut Zuhairini, Alquran dipakai sebagai bahasa bacaan untuk belajar membaca, kemudian dipilih ayat-ayat yang akan ditulis untuk dipelajari. Di samping belajar menulis dan membaca, murid-murid juga mempelajari tatabahasa Arab, cerita-cerita Nabi, hadis dan pokok agama.
Menurut Samsul Nizar, jika dilihat di dalam sejarah pendidikan Islam pada awalnya dikenal dua bentuk Kuttab, yaitu: (1) Kuttab berfungsi sebagai tempat pendidikan yang memfokuskan pada tulis baca; dan (2) Kuttab tempat pendidikan yang mengajarkan Al Quran dan dasar-dasar keagamaan.
Peserta didik dalam Kutab adalah anak-anak. Para guru yang merupakan ulama atau setidaknya orang yang ahli dalam membaca Alquran tidak membedakan murid-murid mereka, bahkan ada sebagian anak miskin yang belajar di Kuttab memperoleh pakaian dan makanan secara gratis. Anak-anak perempuan pun memperoleh hak yang sama dengan anak-anak laki-laki dalam belajar.
b. Halaqah (mesjid)
Pada Dinasti Umayyah, Masjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah Kuttab. Materi pendidikannya meliputi Alquran, tafsir, hadis dan fiqh. Juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan (astronomi). Di antara jasa besar pada periode Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan Masjid sebagai pusat aktifitas ilmiah termasuk sya’ir, sejarah bangsa terdahulu, diskusi dan pembahasan akidah.
Pada Dinasti Umayyah ini, masjid sebagai tempat pendidikan terdiri dari dua tingkat yaitu: tingkat menengah dan tingkat tinggi. Hal ini misalnya dapat dilihat pada halaqah-halaqah di Mesjid Nabawi. Pada tingkat menengah guru belumlah ulama besar. Hal ini misalnya dapat dilihat pada halaqah-halaqah kecil pada paroh akhir abad I H di Mesjid Nabawi. Sedangkan pada tingkat tinggi gurunya adalah ulama yang dalam ilmunya dan masyhur kealiman dan keahliannya, seperti Hasan al-Bashri dengan halaqah besarnya di Mesjid Bashrah, atau Sa’id ibn al-Musayyab di Mesjid Nabawi.
Orang-orang yang menjadi murid pada lembaga halaqah adalah orang dewasa tanpa dibatasi oleh usia. Bahkan, sebagian anak-anak yang sudah menyelesaikan pendidikan dasar di kuttab juga diperkenankan untuk mengikuti pengajian-pengajian halaqah.
Umumnya pelajaran yang diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang, baik di Kuttab atau di Masjid tingkat menengah. Sedangkan pada tingkat pelajaran yang diberikan oleh guru adalah dalam satu Halaqah yang dihadiri oleh para pelajar bersama-sama.
Pusat-pusat pendidikan Alquran dengan tafsirnya, hadis, fikih, dan tasawuf merupakan perwujudan dari lembaga halaqah ini. Pusat pengajaran hadis kala itu yang telah tercatat oleh sejarah adalah Madinah, Mekah, Kufah, Bashrah, Syam, Khurasan (Iran),Yaman, Mesir, Maghribi (Afrika Utara), dan Andalusia.
Di Madinah, sebagai pusat pengajaran hadis pertama, mampu melahirkan tokoh-tokoh besar tabiin, seperti Sa’îd ibn al-Musayyab, ‘Urwah bin Zubair, Ibn Syihâb al-Zuhrî, ‘Ubaidullâh ibn ‘Utbah ibn Mas’ûd, dan Sâlim ibn ‘Abdullâh ibn ‘Umar. Di Madinah ini, pengajaran hadis banyak digabung dengan pengajaran fikih.
Di Mekah, para sahabat yang mengajarkan hadis antara lain Mu’âdz bin Jabal ra., ‘Atab bin Asid ra., Hârits bin Hisyâm ra., Utsmân bin Thalhâh ra., dan ‘Utbah bin Hârits. Mereka berhasil mencetak kader-kader ulama hadis generasi tabiin seperti Mujâhid, ‘Athâ bin Abî Rabâh, Thawûs ibn Kîsan, dan Ikrimah maulâ Ibn ‘Abbâs ra. para ulama dari generasi tabiin Mekkah ini belakangan lebih terkenal sebagai pakar tafsir ketimbang disiplin ilmu lainnya.
Di Kufah, para sahabat yang membina hadis adalah ‘Alî ra, Sa’d ra. dan Ibn Mas’ûd, yang melahirkan ulama tabiin yaitu al-Rabî’, Kamal bin Zaid al-Nakhâ’î, Sa’îd ibn Zubair al-Asadî, ‘Amir al-Sya’bî, Ibrâhîm al-Nakhâ’î, dan Abû Ishâq al-Sa’bî.
Di Bashrah, Anas bin Mâlik ra., ‘Abdullâh bin ‘Abbâs ra, ‘Imrân bin Husain ra., Ma’qal bin Yasâr ra., ‘Abdurrahmân ibn Samrah ra, dan Abû Sa’îd al-Anshârî adalah para sahabat yang terkenal mengembangkan hadis di sana. Murid-murid mereka adalah al-Hasan al-Bashrî, Muhammad ibn Sîrîn, Ayyûb al-Sakhyatanî, Yûnus ibn ‘Ubaid, ‘Abdullâh bin ‘Aun, Qatâdah ibn Du’amah al-Sudusî, dan Hisyâm ibn Hasan.
Di Syam, para sahabat yang terkenal mengajarakan hadis adalah Abû Ubaidah al-Jarrah ra., Bilâl ibn Rabbâh, ‘Ubadah ibn Shâmit, Sa’d bin ‘Ubadah, Abû Dardâ’, Surahbil bin Hasanah, Khâlid bin Wâlid, dan ‘Iyâd ibn Ghanam. Para tabiin yang muncul dari madrasah Syam ini adalah Sâlim ibn Abdillâh al-Muharibi, Abû Idrîs al-Khaulanî, Abû Sulaimân al-Daranî, dan ‘Umar ibn Hanâ’î.
Di Mesir, para sahabatnya yang terkenal adalah ‘Amr ibn al-‘Ash ra, ‘Uqbah bin Amr ra., Kharizah ibn Huzâfah ra., dan ‘Abdullâh ibn al-Hârits ra. yang memunculkan generasi tabiin seperti ‘Amr ibn al-Hârits, Khair ibn Nu’aimî al-Hadhramî, Yazîd ibn Abî Habîb, ‘Abdullâh ibn Abî Ja’far, dan ‘Abdullah ibn Sulaimân al-Thawîl.
Di Maghribi dan Andalus, para sahabat yang berkelana ke sana antara lain Mas’ûd ibn al-Aswad al-Balwî ra., Bilâl ibn Hârits ibn ‘Ashim al-Muzânî ra., Salamah ibn al-Akwâ’ra., dan Walîd ibn ‘Uqbah ibn Abî Mu’îd ra. Murid-murid mereka di antaranya adalah Ziyâd ibn An’am al-Mu’afil, Abdurrahmân ibn Ziyâd Yazîd ibn Abî Manshûr, al-Mughîrah ibn Abî Burdah, Rifa’af ibn Rafî, dan Muslim ibn Yasar.
Di Yaman, para sahabat yang terkenal pernah menjadi guru agama di sana adalah Mu’âdz bin Jabal ra. dan Abû Mûsâ al-Asy’arî ra. Para tokoh tabiin hasil didikan mereka antara lain adalah Hammâm ibn Munabbih dan Wahb ibn Munabbih, Thâwûs, dan Ma’mar ibn Rasyîd.
Adapun di Khurasan, ada Buraidah ibn Husain al-Aslamî ra., al-Hakam ibn ‘Amir al-Ghifarî ra., Abdullâh ibn Qâsim al-Aslamî ra., dan Qasm ibn al-‘Abbâs ra. yang melahirkan tokoh-tokoh tabiin antara lain, Muhammad ibn Ziyâd, Muhammad ibn Tsâbit al-Anshârî, dan Yahyâ bin Sabih al-Mughrî.
Sementara itu, pusat-pusat halaqah tafsir yang paling terkenal adalah Mekkah sbagai pusat pendidikan tafsir yang lebih dapat menerima sistem penalaran (al-ra’yu) dengan tokoh-tokohnya seperti ‘Atha ibn Abi Rabah, Ikrimah maula Ibn ‘Abbas, dan Mujahid ibn Jabar yang semuanya merupakan murid-murid Ibn ‘Abbas ra. Sejak akhir abad I H, pandangan madrasah Mekkah ini mendapat dukungan dari madrasah Kufah yang kemudian berkembang menjadi aliran mu’tazilah.
Sedangkan pusat halaqah tafsir yang lebih tradisionalis adalah Madinah yang sangat menekankan jenis tafsir riwayat (al-ma’tsur) dengan tokoh-tokohnya seperti Sa’id ibn al-Musayyab (w 94 H.) dan Muhammad ibn Sirin (w. 110 H.).
c. Pendidikan Privat Istana
Bagi orang yang berkemampuan, terlebih khusus bagi kalangan istana, mereka biasa mendidik anak-anak mereka di tempat khusus yang mereka inginkan dengan guru-guru yang didatangkan secara khusus pula. Bentuk pendidikan semacam ini sebenarnya dapat dilihat benang kesinambungannya dengan tradisi pra Islam di mana orang-orang Arab hadhari (kota) sering mengirim anak-anak mereka sejak bayi sampai usia mumayyiz ke pedalaman (perkampungan Arab badawi) guna memperoleh didikan yang lebih alami dan mampu berbahasa Arab seara lebih fasih. Bentuk pendidikan semacam ini disebut badiyah, yang dalam makna harfiahnya adalah dusun atau tempat tinggal orang-orang Arab pedalaman (badawi), namun dimaksudkan di sini sebagai pusat pendidikan bahasa Arab yang murni dan alami.
Di masa Nabi dan khulafa al-Rasyidin, tradisi ini tidak begitu tampak lagi. Namun, pada masa Dinasti Umayah, tradisi ini kembali muncul, namun sifatnya tampak lebih terbatas di kalangan bangsawan, dan polanya pun sudah berubah, karena para pendidik yang diundang ke istana untuk mendidik anak-anak bangsawan di dalam istana. Inilah misalnya yang dapat dilihat pada Hajjaj ibn Yusuf yang pernah menjadi guru bagi putra Sulaiman Nasuh seorang Menteri dari khalifah Abdul Malik ibn Marwan. Namun demikian, pendidikan yang diberikan oleh Mu’awiyah ra kepada anaknya, Yazid, masih menerapkan pola pendidikan pra Islam.
Ciri khas pendidikan privat istana ini adalah: (1) peserta didiknya khusus anak-anak bangsawan, (2) pendidiknya adalah orang yang dianggap ahli oleh para bangsawan dan bersedia datang ke lingkungan istana untuk memberikan pengajaran, dan (3) materi pendidikannya ditentukan sendiri oleh orang tua peserta didik. Dengan ciri khas semacam ini, banyak ulama di zaman itu yang tidak bersedia mengajar di istana.
d. Majelis Sastra
Majelis sastra merupakan balai pertemuan yang disiapkan oleh khalifah dengan hiasan yang indah dan hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka. Jadi baik pendidik maupun peserta didik dikhususkan bagi golongan elit saja.
Menurut Athiyyah al-Abrasi, balai-balai pertemuan tersebut mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan. Seseorang yang masuk ketika khalifah hadir di majelis itu mestilah berpakaian necis bersih dan rapi, duduk di tempat yang sepantasnya, tidak meludah, tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanya. Ia tidak boleh bersuara keras dan harus bertutur kata dengan sopan dan memberi kesempatan pada si pembicara menjelaskan pembicaraannya serta menghindari penggunaan kata kasar dan tertawa terbahak-bahak. Dalam balai-balai pertemuan seperti ini disediakan pokok-pokok persoalan untuk dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan”.
Meskipun tradisi ini sudah dapat ditemukan sejak masa Mu’awiyah ra, namun menurut Ahmad Syalabi, aturan-aturan yang lebih khas di atas dimulai di masa Khalifah ‘Abd al-Malik bin Marwan selaku khalifah V.
Majelis sastra merupakan tempat diskusi membahas masalah kesusasteraan dan juga sebagai tempat berdiskusi mengenai urusan politik. Jadi, materi pendidikannya lebih khusus dan cenderung eksklusif. Perhatian penguasa Ummayyah memang sangat besar pada pencatatan kaidah-kaidah nahwu, pemakaian Bahasa Arab dan mengumpulkan Syair-syair Arab dalam bidang syariah, kitabah dan berkembangnya semi prosa, sehingga turut memicu keberlangsungan lembaga pendidikan yang berbentuk majelis sastra ini.
Usaha yang tidak kalah pentingnya pada majelis-majelis sastra di masa Dinasti Umayyah ini adalah dimulainya penterjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam Bahasa Arab, seperti yang mulai dirintis ketika Khalid ibn Yazid memerintahkan beberapa sarjana untuk menerjemahkan karya-karya tulis dari bahasa Yunani dan Qibti (Mesir) ke dalam Bahasa Arab tentang ilmu Kimia, Kedokteran dan Ilmu Falaq. Aktivitas penerjemahan ini dimulai sejak zaman pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah selaku khalifah II.
Dari keempat bentuk pendidikan di atas, tidak ditemukan instrumen evaluasi yang berlaku umum, karena di samping pola pendidikannya masih sangat sederhana, evaluasi juga dilakukan per satuan pendidikan. Hanya saja, pada skala makro, khalifah atau gubernur di masa itu memang melakukan evaluasi terhadap berbagai paham atau wacana keagamaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Hal ini ditujukan untuk mengantisipasi menguatnya paham qadariyyah yang dianggap mengancam eksistensi kekuasaan Bani Umayyah, seperti tuduhan yang pernah mereka alamatkan kepada Imam al-Hasan al-Bashri dan sebagainya.
Semua ini didukung pula oleh kenyataan bahwa lingkungan pendidikan di masa itu masih belum kondusif, di mana antara ulama secara umum sebagai komunitas pendidik masih tidak dapat bekerjasama dengan pemerintah selaku pengatur kehidupan social-politik masyarakat. Hal ini nantinya akan sangat berbeda ketika pemerintahan dipegang oleh Dinasti Bani Abbasiyyah.
3. Segi Tujuan Pendidikan (Aspek Aksiologis)
Dari segi tujuan, pendidikan Islam di masa Bani Umayah dapat dikatakan masih merupakan kelanjutan dari masa khulafa al-Rasyidin, yang sebagaimana dikatakan oleh Samsul Nizar, secara ideal dan global tujuan pendidikan Islam yang berkembang kala itu masih relatif seragam, yaitu bertujuan sebagai wujud pengabdian baik secara vertikal kepada Allah swt maupun secara horisontal kepada manusia dan alam. Adapun secara khusus (praktis-pragmatis), tujuan pendidikan di masa itu tergantung jenjang pendidikan yang ditempuh, yaitu:
a. Pada jenjang kuttab, tujuan pendidikan adalah untuk memenuhi kebutuhan keilmuan dasar agama dan keilmuan serta kecakapan hidup sehari-hari seperti membaca, menulis, dan berhitung.
b. Pendidikan privat istana juga memiliki tujuan seperti kuttab, hanya saja pendidikan istana juga menekankan pada penguasaan bahasa Arab yang fasih.
c. Pada jenjang halaqah, karena kebanyakan yang diajarkan adalah ilmu-ilmu syar’i, maka pendidikan bertujuan untuk mendalami masalah-masalah agama yang bersifat praktis bagi kehidupan sehari-hari.
d. Pada bentuk majelis sastra, pendidikan secara umum bertujuan untuk mendalami masalah-masalah di bidang sastra dan sejarah, di samping untuk mengevaluasi wacana-wacana keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Di samping itu, karena pendidikan di masa ini belum banyak dipengaruhi oleh pemerintah, maka watak pendidikan yang ada lebih bersifat alami dan kultural. Dari perspektif aksiologis semacam ini, tidak ada syarat formal yang berlaku ketat bagi seorang murid untuk menuntut ilmu yang secara riil sering menghalangi atau membelokkan niat dan tujuan seseorang. Hanya saja, ada tradisi bahwa di tingkat pemula atau anak-anak, pendidikan Islam biasanya dilaksanakan di kuttab. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di kuttab, mereka pun bisa berbaur dengan orang-orang yang lebih tua untuk belajar di halaqah.
D. Analisis tentang Perkembangan Pendidikan Islam di Masa Bani Umayah
Pada periode pemerintahannya, Dinasti Umayyah terkenal sibuk dengan pemberontakan dalam negeri dan sekaligus memperluas daerah kerajaan. Hal ini berdampak kepada kurangnya perhatian pada perkembangan ilmiah keagamaan, termasuk pendidikannya. Bukti menyolok yang dapat ditelusuri dalam historiografi intelektual Islam adalah bahwa sejak pemerintahan Mu’awiyah ra tampak terjadi polarisasi antara tradisi istana dengan tradisi ilmiah keagamaan, di mana para ulama yang kala itu menjadikan Madinah sebagai basis tradisi Islam tampak mengambil jarak dengan para pemimpin politik; suatu fenomena yang disebut oleh Fazlur Rahman sebagai tradisi irja’.
Sejarah umat Islam kala itu bergerak mengembang dengan terbaginya arus umum proto sunni, yang digambarkan oleh Ira M. Lapidus sebagai “Islam elit” dan “Islam perkotaan”: Maksudnya, pada satu sisi, Islam mengekspresikan identitas politik khilafah dan elit politik, yang secara khusus berperan terhadap perkembangan seni, filsafat, sains, dan bentuk-bentuk kepustakaan Hellenistik dan Iranian ke dalam bahasa Arab; sedangkan pada sisi lain berkembang Islam sebagai ekspresi keagamaan, moral, dan nilai-nilai sosial masyarakat Muslim perkotaan, yang berperan dalam berbagai kepustakaan terkait dengan tafsir, hukum, dan mistisisme (kerohanian). Namun kedua arus ini bertemu dalam peranan yang besar bagi tumbuh suburnya sastra (syair), sejarah, dan teologi (ilmu kalam).
Perkembangan paling penting yang tentunya dapat dicatat pada periode Dinasti Umayyah di bidang pendidikan, adalah menekankan ciri ilmiah pada Masjid sehingga menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan tinggi dalam masyarakat Islam. Dengan penekanan ini, di Masjid diajarkan beberapa macam ilmu, seperti syair, sastra dan ilmu lainnya. Meskipun terkesan agak elitis, namun dapat dikatakan bahwa masa ini merupakan zaman pendidikan Masjid yang paling cemerlang.
Adapun bidang keilmuan yang berhasil dikembangkan secara spektakuler dan memiliki pengaruh besar sampai masa kini adalah bidang hadis, terutama semenjak Khalifah Umar bin Abd al-‘Aziz memerintahkan sekaligus berperan langsung dalam gerakan kodifikasi hadis di pergantian abad I-II H.
Kemudian secara komparatif, pendidikan Islam pada masa periode Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin. Hanya saja memang ada sisi perbedaan perkembangannya, terutama perhatian para Khulafa di bidang pendidikan agaknya kurang memperhatikan perkembangannya sehingga menjadi kurang maksimal. Pendidikan Islam akhirnya lebih berjalan secara kultural, tidak banyak diatur oleh pemerintah, melainkan oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir tidak ditemukan.
Begitu pula misalnya dalam gerakan penterjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, yang mana penterjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, administrasi, dan seni bangunan. Pada umumnya gerakan penerjemahan ini terbatas keadaan orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan. Menurut Franz Rosenthal orang yang pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid cucu dari Muawwiyah.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada masa pemerintahan Dinasti Umayah di Damaskus, pendidikan Islam masih belum dapat berjalan secara tertib dan berkembang, terutama karena memang belum melibatkan peran pemerintah secara optimal. Namun hal ini harus juga dipahami dari segi sejarah pendidikan Islam sendiri yang masih dalam periode pertumbuhan dan belum menemukan format-format spektakuler seperti yang akan terlihat pada masa Dinasti Abbasiyyah.
D. Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam di masa pemerintahan Bani Umayah berjalan secara alami pada jalur kultural, dan belum dapat menembus batas-batas struktural kecuali secara sangat terbatas seperti pada disiplin sastra dan sejarah.
Mengingat pembahasan tulisan ini masih sangat terbatas dan dangkal, kiranya penelusuran terhadap sejarah pendidikan Islam di masa Bani Umayah masih harus dilakukan secara lebih detil dan komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasi, ‘Athiyyah, Tarbiyah Al Islamiyah, dikutip dari digilib.sunan-ampel.ac.id/files/SBUNBSK/disk1/9/sbunbsk-gdl-yuldelasha-412-1 polapen-h.doc
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur’an/Tafsir, Jakarta, Bulan Bintang, 1994.
Barni, H. Mahyuddin, Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam, Makalah, Banjarmasin, t.th.
Fahmi, Asma Hasan, Mabadi’at Tarbiyyah Al Islamiyyah, dalam digilib.sunan-ampel.ac.id/files/SBUNBSK/disk1/9/sbunbsk-gdl-yuldelasha-412-1 polapen-h.doc
al-Jazarî, ‘Izz al-Dîn ibn al-Atsîr Abû al-Hasan ‘Alî bin Muhammad, Usd al-Ghâbah fî Ma’rifah al-Shahâbah, Beirut, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994
Lapidus, Ira M, A History of Islamic Societies, terj. Ghufron A. Mas’adi, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000.
Nizar, Samsul, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam: Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, Ciputat, Ciputat Press, 2005.
Rabbih, Ibn ‘Abd, al-‘Iqd al-Farīd, juz 2, dalam Software al-Maktabah al-Syamilah, edisi II
Rahman, Fazlur, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism, terj. Munir, Kebangkitan dan Pembaharuan di dalam Islam, Bandung, Pustaka, 2001.
Syalabi, Ahmad, al-Tarikh al-Islamiy wa al-Hadharat al-Islamiyyah, terj., M. Sanusi Latief, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid II, Jakarta, Pustaka Al Husna Baru, 2003
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta, Raja Gradindo Persada, 2006.
Susari, “Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah” dalam Abuddin Nata (ed.) Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004
Suwedi, Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam, dalam digilib.sunan-ampel.ac.id/ files/SBUNBSK/disk1/9/sbunbsk-gdl-yuldelasha-412-1polapen-.doc
al-Suyûthî, ‘Abd al-Rahmân ibn Abû Bakr Tarîkh al-Khulafâ, Beirut, Dâr al-Fikr, t. th.
Thohir, Adjid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, Jakarta, Raja Grafindo persada, 2004
Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya, Bina Ilmu, t. th.
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1992
”pendidikan adalah pengalaman yang dengan pengalaman itu, seseorang atau kelompok orang dapat memahami seseuatu yang sebelumnya tidak mereka pahami. Pengalaman itu terjadi karena ada interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungannya. Interaksi itu menimbulkan proses perubahan (belajar) pada manusia dan selanjutnya proses perubahan itu menghasilkan perkembangan (development) bagi kehidupan seseorang atau kelompok dalam lingkungannya”.
terima kasih sudah sharing di blog ini
sama sama
Ping-balik: Pendidikan Islam Bani Umayyah | Anakku Harapanku Dunia Akhiratku
Ping-balik: Pendidikan Islam Bani Umayyah | Anakku Harapanku Dunia Akhiratku
asslmkm ust maya allah blog nya luar biasa ust.