Oleh: Ahmad Harisuddin
Tulisan sekejap ini tidak dimaksudkan sebagai tulisan ilmiah sebenar. Cuma sekadar bahan renungan bersama, demi kebaikan bersama, dan untuk kemaslahatan bersama; tentunya bagi saya yang tinggal di Kalimantan, Anda yang di Sumatera, atau kita yang di Indonesia, dan Saudara kita yang di Malaysia.
Tertanamlah suatu kesedihan tatkala membaca pelbagai komentar atau postingan-postingan yang provokatif, baik itu antar etnis mahupun antar bangsa serumpun, Indonesia vs Malaysia. Saya tidak bermaksud membela Presiden SBY, tetapi saya pikir sikap tidak tergesa-gesa dalam merespon isu-isu yang sebagiannya sengaja digulirkan oleh pihak-pihak yang menginginkan retaknya hubungan RI-Malaysia sudah tepat. Bagi kita yang sering mengudara di dunia maya, sudah saatnya provokasi itu kita hentikan: menuduh Malaysia maling kebudayaan Indonesia atau Indonesia mencuri karya Malaysia?
Masih ingatkah ketika seniman Saiful Bahri yang asli Indonesia menjadi komposer lagu kebangsaan Malaysia, sehingga lagu “Negaraku” menjadi mirip dengan lagu “Terang Boelan”? Masih ingatkah pada tahun 1960an lagu “Teluk Bayur”-nya Ernie Djohan menjadi lagu yang sangat populer di Malaysia? Masih ingatkah pula lagu “Hitam Manis”-nya Emilia Contessa yang populer di Indonesia tahun 1970-an sudah direkam oleh R. Azmi di Malaysia tahun 1954? Kemudian kenapa lagu “Semalam di Malaya” yang direkam tahun 1961 oleh Tuty Daulay malah menjadi populer di tengah-tengah rakyat Indonesia yang sedang berkonfrontasi dengan Malaysia? Ingatkah pula ketika TVRI tempo dulu mempopulerkan acara Titian Muhibah? atau belakangan lagi, ketika Siti Nurhaliza mempopulerkan kembali lagu Tiga Malam-nya Lilis Suryani yang sebetulnya justru merupakan lagu perjuangan orang Indonesia dalam sengketa Indonesia-Malaysia tahun 1960-an? Itu hanya sebagian contoh kecil yang kebetulan mudah diingat tentang tidak adanya masalah serius antara Indonesia dan Malaysia sebagai sebuah bangsa.
Sudah teramat jelas sejarah kita sebagai bangsa Nusantara yang hanya terpisah akibat kemerdekaan masing-masing dan semua itu sebagai akibat lebih lanjut dari ulah politik penjajah. Malahan jika Belanda tidak menjajah Indonesia dan Malaysia tidak dijajah oleh Inggris, sangatlah mungkin kita telah menjadi satu negara.
Meminjam istilahnya Bennedict Anderson, istilah bangsa hanyalah sebuah komunitas imajiner, yakni sesuatu ikatan yang diada-adakan, layaknya sebuah imajinasi. Memang saya tidak sepenuhnya sepakat dengan Anderson, tetapi paling tidak dalam konteks Indonesia-Malaysia, atau diperlebar lagi kepada Singapura, Brunei Darussalam, Moro, dan Pattani, hal itu tepat. Meskipun belum jelas dari mana asal kata Melayu itu muncul, namun jelas terekam dalam sejarah pra kolonisasi bahwa kita se-nusantara adalah orang Melayu, yang dalam literatur Arab disebut orang Jawi. Bedanya hanyalah dari segi lapisan genetiknya, ada yang masih tergolong puak Melayu Tua sehingga tampak banyak perbedaannya dengan puak-puak Melayu Muda.
Betul bahwa budaya Islam sangat berperan besar terhadap kebangkitan Kebudayaan Melayu (Muda) sehingga umum diakui kecenderungan orang melayu beragama Islam, namun tidak semua Melayu dapat diidentifikasi ke Islam. Adapun orang yang mencitrakan diri sebagai Melayu-Islam, hal itupun sah-sah saja dalam konteks budaya, karena budaya adalah ranah subjektif yang sangat sulit diukur menurut kacamatan objektivitas.
Dalam konteks Banjar sebagai setting sosio-kultural kehidupan saya juga demikian, ada yang berpendapat bahwa Banjar berasal dari Melayu Sumatera, ada pula yang berujar Banjar itu asli Kalimantan, ada yang lebih asimilatif karena perpaduan Melayu Jawa dan Dayak. Bahkan, ada pula yang berani menarik kesimpulan bahwa asal-usul Melayu adalah orang Kalimantan. Semua itu adalah mungkin, dan setiap orang Banjar tentunya juga berhak menghubungkan sendiri geneologinya ke etnis dan bangsa manapun.
Apakah pula halnya Islam, jikalau ada pemahaman umum tempo dulu bahwa Banjar identik dengan Islam, hal itu absah, kerana memang sejarahnya demikian. Para peneliti kebudayaan lokal telah menyimpulkan bahwa Banjar muncul sebagai perpaduan dari orang yang berdiam di wilayah Kerajaan Banjar, beragama Islam, dan berbudaya sungai. Akan tetapi, sekarang zaman terus berubah, dan di mana inti pembentuk Banjar itu terletak? Semuanya perlu diposisikan kembali. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Salam terindah dari Tanah Banjar