Oleh: Ahmad Harisuddin
Aliran sempalan merupakan istilah yang digunakan secara sosiologis untuk kelompok yang secara sengaja memisahkan diri dari induk umat, eksklusif, dan kritis terhadap ulama yang mapan. Ini mengacu definisi Bruneissen (1992). Akar katanya sendiri dalam bahasa Indonesia adalah sempal yang berarti penggal atau pecah. Lihat https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sempalan. Meskipun demikian, dalam literatur Barat, aliran sempalan yang muncul secara sosio-historis dalam Islam terkadang disebut dengan istilah fundamentalisme Islam. Istilah ini, tentu saja, tidak dapat diterima begitu saja oleh umat Islam, karena mengandung konotasi negatif.
Menurut Muhammad Said al-Asmawi, fundamentalismeharus dibedakan pada dua kategori, yaitu: activist political fundamentalism dan rationalist spritualist fundamentalism. Istilah pertama, menurutnya, menunjuk pada kelompok muslim yang memperjuangkan Islam sebagai kekuatan politik, sedangkan istilah kedua menunjuk pada kelompok muslim yang menginginkan kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan tradisi yang dipraktikkan oleh generasi muslim pertama (Nabi dan sahabat). Fundamentalisme dalam pengertian yang kedua inilah yang identik dengan puritanisme, di mana para pengusungnya disebut sebagai kaum puritan. Demikian al-Asmawi. https://analisadaily.com/berita/arsip/2016/11/18/273310/aliran-sempalan-dalam-pandangan-islam/ Memang, kaum puritan cenderung memahami kembalinya umat kepada sumber ajaran Islam harus secara skriptural, yaitu berdasarkan informasi yang tertulis dalam naskah-naskah generasi awal atau apa yang sering mereka sebut dengan istilah salaf. Secara akidah, corak ajaran mereka adalah purifikasi ajaran Islam, sehingga istilah kafir, syirik, dan bid’ah sangat kental dalam lisan-lisan mereka.
Nah, permasalahannya kemudian adalah bahwa ketika para penulis Barat menggunakan fundamentalisme sebagai contoh nyata aliran sempalan dalam Islam, tentu saja secara tidak langsung mereka memandang kelompok terbesar umat Islam tidaklah berpaham demikian. Kelompok terbesar (as-sawâd al-a’zham) merupakan arus utama umat Islam yang tentu saja tidak berpaham fundamentalis dalam pengertian Barat dan tidak pula liberal, karena keduanya merupakan bentuk ekstremisme dalam beragama. Fundamentalisme merupakan ekstrim kanan, sedangkan liberalisme adalah ekstrim kiri.
Siapakah kelompok arus utama umat Islam yang bukan termasuk kategori sempalan? Sebenarnya pertanyaan ini secara normatif sudah terjawab melalui hadis popular mâ ana ‘alaihi wa ashhâbî (yaitu di mana aku dan para sahabatku berada di jalannya). Selanjutnya, bukti hadis ini perlu kita periksa secara cermat.
Sekarang kita coba melihatnya melalui perspektif historis. Zaman nabi tentu saja tidak ada masalah dengan hadis ini. Zaman khulafa ar-râsyidîn perlahan-lahan sudah membuktikan keberadaan arus utama umat Islam yang dimaksud dalam hadis ini, yaitu siapa yang selalu berada bersama khalifah demi khalifah sampai selesainya masa khilafah al-Hasan bin ‘Ali ra. dan berpindah kepada sistem dinasti Umayyah di abad pertama Hijriyah. Saat itu, kesatuan umat Islam memang sudah bercorak kemazhaban, di mana para ulama dari generasi sahabat kecil seperti ‘Abdullah bin ‘Abbâs ra di Makkah dan ‘Abdullah bin ‘Umar di Madinah mulai membentuk sistem pemahaman ijtihadi yang berbeda-beda dalam konteks merespons berbagai problem dan tantangan zaman setelah berlalunya masa kenabian, dan hal ini kemudian melejitkan tokoh-tokoh ulama dari generasi tabiin seperti al-Hasan al-Bashri, Sa’îd bin al-Musayyab, Sa’îd bin Jubair, ‘Athâ’, Ikrîmah, Thâwûs, dan lainnya. Inilah yang kemudian membentuk Ahlusunnah Waljamaah (Aswaja).
Dari kondisi tersebut, kita lihat secara sosio-historis bahwa sejarah umat kemudian bergerak mengembang dengan terbaginya arus umum pembentuk Aswaja, yang digambarkan oleh Ira M. Lapidus (2000: 124-125) sebagai “Islam elit” dan “Islam perkotaan”: Maksudnya, pada satu sisi, Islam mengekspresikan identitas politik khilafah dan elit politik, sedangkan pada sisi lain berkembang Islam sebagai ekspresi keagamaan, moral, dan nilai-nilai sosial masyarakat Muslim perkotaan, yang berperan dalam berbagai kepustakaan terkait dengan tafsir, hukum, dan tasawuf. Kedua arus ini bertemu dalam peranan yang besar bagi tumbuh suburnya sastra (syair), sejarah, dan teologi (ilmu kalam). Namun, menurut Lapidus, banyak penulis yang kurang memperhatikan perkembangan ini.
Kedua arus umum keberislaman masyarakat Muslim seperti disebutkan di atas, bukan menggambarkan perbedaan millah. Keduanya berada dalam paham doktrinal yang sama, yang menjadi asal-usul Aswaja, meskipun tetap memiliki perbedaan karakteristik yang bersifat temporal. Mereka berada dalam satu akidah, satu ibadah, dan satu akhlak sebagaimana mereka warisi dari arus utama generasi sahabat besar sejak zaman khulafâ ar-râsyidîn.
Ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa sejak abad ke-2 H, silih bergantinya kekuasaan de facto di samping khalifah tidak lagi merepresentasikan arus umum umat Islam. Dari abad ke abad, arus utama umat Islam malah lebih menjadikan ulama sebagai basis keberislaman mereka, alih-alih mengikuti para penguasa. Kita menyaksikan ketika aliran Mu’tazilah yang sudah menyatakan diri keluar dari arus umum umat Islam sejak zaman tabiin besar (kasus Washil bin Atha yang memisahkan diri dari ajaran Imam al-Hasan al-Bashriy), ternyata berhasil mempengaruhi Dinasti Abbasiyah sehingga Mu’tazilah menjadi aliran resmi negara, arus umum umat Islam tetap tidak bisa menerimanya.
Kemudian, sepanjang akhir abad ke-3 sampai abad ke-6 H ketika Dinasti Abbasiyah sudah melemah, para penguasa de facto silih berganti berkuasa, sementara para ulamalah yang menandai kepemimpinan arus utama umat Islam, misalnya dimulai Imam Ahmad bin Hanbal di abad ke-3 H sebagai maha guru dari para imam muhadis seperti al-Bukhariy dan Muslim, dilanjutkan Imam al-Asy’ariy (260-324 H/874-979 M) dan al-Mâturidiy (333 H) di bidang akidah yang kemudian diikuti oleh sang murid al-Asy’ariy, yaitu Abu al-Hasan al-Bâhiliy (w. 370 H/980 M ) dan murid-murid Abu Manshur al-Maturidi yang paling masyhur seperti Abu Qasim as-Samarkandi (w. 342 H), Ali ar-Rustaghni (w. 350 H), dan al-Bazdawi (w. 390 H), semuanya merupakan ulama abad ke-4 H. https://www.nu.or.id/tokoh/abu-manshur-al-maturidi-imam-aqidah-ahlusunnah-wal-jama-ah-785iy. Para ulama kalam Asy’ariyyah seperti al-Bâqilâniy (w. 403 H/1012 M), Ibn Fûrak (w. 406 H/1016 M), dan Abu Ishâq al-Isfarâyaniy (418 H/1027 M) yang semuanya murid dari al-Bahiliy merupakan rujukan umat di bidang akidah sampai awal ke-5 H. Ada lagi ulama-ulama peneyimbang seperti as-Sarrâj (w. 378 H/988 M), disusul nanti dengan al-Qusyairiy (376-465 H/986-1073 M), al-Baihaqiy (w. 456 H/1064 M), kemudian al-Ghazaliy (450-505 H/1058-1111 M), Abû Najîb as-Suhrâwardiy, dan ‘Abd al-Qâdir al-Jîlâniy sebagai poros keseimbangan akidah, ibadah, dan akhlak yang mayoritas berada di Asia Tengah. Kemudian terdapat al-Asqalaniy (773-852 H) dan as-Suyûthiy (849-911 H) di Mesir sampai Haramain kembali menjadi pusat jaringan para ulama sebagaimana pernah diteliti oleh Azyumardi Azra (1999).
Arus utama umat Islam (Aswaja) tidak banyak terpengaruh oleh gerakan-gerakan pembaharuan seperti yang dilakukan oleh Ahmad Khan di India, Muhammad bin ‘Abdul Wahhab di jazirah Arab, Muhammad Abduh di Mesir, dan seterusnya. Para pembaharu yang berlatar belakang pendidikan modern Barat malah cenderung dianggap berbuat bid’ah dalam arti banyak menghasilkan pemikiran dan gerakan yang tidak dicontohkan oleh Nabi saw. dan para sahabat. Begitu pula dengan puritanisme, sebagai paham dan gerakan yang berfokus pada pembersihan akidah Islam, namun akhirnya malah terjebak menjadi aliran sempalan karena bertentangan dengan arus umum ortodoksi Aswaja. Faktor pemurnian agama tidak saja menjadi pemicu timbulnya komunitas-komunitas puritan atau gerakan puritanisme pada zaman pramodern, tetapi juga menjadi faktor penting kelahiran gerakan ini sampai akhir abad 20.
Sebetulnya, dalam batas-batas tertentu arus umum umat Islam tetap dapat menerima penyesuaian teknis konteksual terkait modernitas seperti pola manajemen dakwah dan pendidikan Islam, manajemen ekonomi Islam, serta penggunaan teknologi informasi dalam sistem peribadatan dan muamalah modern lainnya. Namun, semua itu tetap harus dilakukan secara proporsional sebagaimana dibimbing oleh para ulama tradisional, sesuai dengan prinsip jalan tengah yang sejak awal menjadi karakter utama ortodoksi Islam itu sendiri. Oleh karena itulah, ketika para ulama tradisional yang memelopori penyesuaian dengan modernitas, umat Islam pada umumnya lebih respek terhadap perubahan transformatif.
Istilah gerakan sempalan beberapa tahun terakhir ini menjadi populer di Indonesia sebagai sebutan untuk berbagai gerakan atau aliran agama yang dianggap aneh alias menyimpang dari akidah. Istilah ini agaknya, terjemahan dari kata “sekte” atau “sektarian”, kata yang mempunyai berbagai konotasi negatif, dari yang bercorak mesianis sampai yang panteistik,
Intinya, aliran sempalan atau sekte-sekte yang dimaksud dikategorikan sebagai aliran sesat. Oleh karena itulah, pada 6 November 2007 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang 10 Kriteria Aliran Sempalan sebagai pedoman identifikasi aliran sesat, yaitu: (1) Mengingkari salah satu dari rukun iman dan rukun Islam; (2) Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah; (3) Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur’an; (4) Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Al-Qur’an; (5) Melakukan penafsiran Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; (6) Mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam; (7) Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul; (8) Mengingkari Nabi Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul terakhir; (9) Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak 5 waktu; (10) Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.
Secara sosiologis, aliran sempalan bersifat menimbulkan keresahan di masyarakat, tentu karena sifat ajaran dan gerakannya yang ekstrem baik ekstrem kanan maupun kiri. Bahkan, tidak sedikit konflik terjadi di kalangan intern umat Islam sebagai akibat perkembangan aliran-aliran sempalan. Seiring dengan itulah, Pemerintah Republik Indonesia juga membentuk Forum Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) yang tersebar di berbagai daerah sehingga diharapkan sedini mungkin mengantisipasi apabila ada kegiatan yang menggunakan simbol-simbol agama yang dapat menimbulkan ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan yang meresahkan masyarakat.
Demikianlah gambaran singkat tentang aliran sempalan yang keluar dari arus utama umat Islam. Waalahu a’lam bi ash-shawab…