Oleh: Ahmad Harisuddin
Islam sebagai sebuah agama dibawa oleh seluruh nabi terdahulu dan berakhir pada syariatnya Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, Islam merupakan agama universal yang berlaku lintas zaman dan tempat karena dibawa oleh setiap ajaran nabi dan rasul. Adapun pandangan bahwa banyaknya nabi yang diutus Allah dengan membawa agama-Nya untuk umat dan zaman yang berbeda-beda menandakan bahwa agama Allah itu banyak, hal itu perlu diluruskan. Dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa agama di hadirat Allah hanya Islam dan Dia tidak akan menerima kecuali agama Islam (QS. Ali Imran: 85). Sungguh tidak logis, apabila Allah ta’ala menurunkan banyak agama yang berbeda-beda kepada para nabi dan rasul, kemudian yang diterima hanya agama Islam. Lihat lebih lanjut antara lain dalam: https://nu.or.id/ilmu-tauhid/nabi-isa-pun-seorang-muslim-tvfCD
Sebagai agama universal, tentu ada ketentuan-ketentuan terkait lokalitas dan temporalitas yang dituntut berbeda antara satu nabi dan nabi lainnya. Umumnya, perbedaan itu ditunjukkan oleh konsep risalah, yang bentuk subjeknya adalah rasul. Artinya, seorang rasul diangkat dengan sebuah risalah (Ibn Manzhur, t.th). Asal kata risalah sendiri adalah inbi’âts atau dorongan (Ibn Faris, 1979).
Dalam Al-Qur’an, risalah yang dimaksud sesuai sebaran kata sebanyak 514 kali (termasuk kata khusus risâlah sendiri 10 kali) berarti sesuatu yang dibebankan oleh Allah kepada para rasul-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia sebagaimana yang diwahyukan (Shohibul Adib, 2019). Jadi, risalah itulah yang membedakan antara seorang rasul dan rasul lainnya; atau antara satu umat dan umat lainnya.
Isi dari risalah adalah akidah dan syariat (syarî’ah). Akidah merupakan kepercayaan pokok agama Islam yang bersifat sama bagi seluruh nabi dan rasul. Akidah yang diajarkan oleh Nabi Adam as. sebagai nabi pertama tidaklah berbeda sama sekali dengan akidah para nabi dan rasul sesudahnya, sampai kepada Nabi Muhammad saw. Perbedaan hanya terdapat pada syariat.
Secara bahasa, syariat berasal dari syir’ah yang berarti sumber air mengalir yang didatangi oleh manusia dan binatang untuk minum. Makna kebahasaan ini menunjukkan bahwa syariat itu memang banyak sesuai banyaknya umat manusia yang menjadi sasaran dakwahnya para rasul.
Syariat dalam konteks Al-Qur’an merujuk pada aturan, tata cara, dan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh Allah untuk diikuti oleh manusia. Ini mencakup aspek-aspek kehidupan mulai dari ibadah, muamalah (hubungan antarmanusia), hingga akhlak (moralitas). Oleh karena itu, apabila kita perhatikan sejarah syariat Islam, memang syariat itu mencerminkan kasih sayang dan keadilan Allah terhadap umat-Nya, serta keinginan-Nya untuk membimbing mereka menuju kehidupan yang penuh berkah.
Secara historis, pemberlakuan suatu ketentuan dalam syariat sudah tentu mencerminkan kebijaksanaan dan rahmat Allah berdasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang fitrah manusia dan kondisi-kondisi sosial yang berbeda. Kita bisa ambil dua contoh. Pertama, terkait ketentuan pokok tentang zakat yang menjadi salah satu pilar syariat (rukun Islam). Kedua, terkait penentuan awal bulan hijriyah yang menjadi syarat sah ibadah puasa Ramadhan.
Sebagai bentuk ibadah, syariat Islam telah menetapkan bahwa zakat itu ada dua macam, yaitu zakat fitrah dan zakat harta. Zakat fitrah disebut juga zakat badan, berlaku untuk semua muslim sepanjang dia masih bisa mencukupi makan sekeluarga di malam dan hari raya puasa. Adapun terkait zakat harta (zakat mal), ada lima jenis Zakat Mal yang telah ditetapkan, meliputi zakat pertanian, zakat perdagangan, zakat hewan ternak, zakat emas dan perak, serta zakat hasil tambang.
Di antara berbagai jenis zakat yang diwajibkan itu, tidak ada yang secara khusus menyebutkan zakat profesi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: mengapa tidak ada kewajiban zakat profesi di luar lima jenis zakat mal yang telah disebutkan?
Pertama-tama, kita harus memahami bahwa zakat pada dasarnya adalah kewajiban memberikan sebagian dari harta yang dimiliki kepada orang yang membutuhkan. Konsep ini memiliki landasan dalam ajaran Islam untuk memperkuat solidaritas sosial dan mengurangi disparitas ekonomi. Namun, ketika kita membahas zakat profesi, kita memasuki domain yang lebih kompleks.
Satu alasan utama untuk tidak adanya zakat profesi adalah karena sifatnya yang sulit untuk dihitung dan dipantau. Zakat harta, relatif lebih mudah diidentifikasi karena nilainya dapat diukur secara langsung. Namun, zakat profesi, yang didasarkan pada penghasilan individu dari pekerjaan atau profesi tertentu, sulit untuk ditentukan dengan tepat. Pendapatan dapat bervariasi dari waktu ke waktu dan tergantung pada berbagai faktor, termasuk fluktuasi ekonomi dan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, menetapkan persentase yang tepat untuk zakat profesi menjadi tantangan, sehingga wajar apabila syariat Islam tidak menjadikannya sebagai bagian dari zakat.
Selain itu, dalam sejarah perkembangan Islam, konsep zakat lebih banyak berkaitan dengan kepemilikan dan kepemilikan harta, bukan sekadar pendapatan. Ketika agama Islam pertama kali muncul, masyarakat yang membentuk umat Muslim umumnya memiliki struktur ekonomi yang didasarkan pada kepemilikan harta benda. Dalam konteks ini, zakat mal (harta) lebih relevan dan mudah diterapkan sehingga akhirnya kelima jenis itu sajalah yang bisa diakomodasi sebagai zakat.
Lebih lanjut, penekanan Islam pada keadilan sosial mungkin memainkan peran dalam ketidakmungkinan untuk mengenakan zakat profesi. Ketika mencoba menciptakan sistem yang adil dan berkelanjutan, Islam memilih untuk mengutamakan redistribusi kekayaan melalui zakat harta, yang dianggap lebih efektif dalam menjangkau mereka yang membutuhkan. Bukankah syariat Islam berlaku untuk seluruh ruang dan waktu? Artinya, jikalau pada zaman wahyu pendapatan profesi masih belum ada yang mengungguli penghasilan dari kepemilikan harta dalam setahun, tentu saja Allah swt. lebih tahu bahwa suatu saat fenomena itu akan terbalik, sehingga zakat profesi perlu disyariatkan. Tetapi, faktanya hal itu tidak pernah dipertimbangkan dalam sejarah pensyariatan zakat.
Meskipun tidak ada zakat profesi yang secara eksplisit diwajibkan, konsep infaq (sumbangan sukarela) masih menjadi praktik umum di antara umat Islam, di mana individu secara sukarela memberikan sebagian dari pendapatan mereka untuk tujuan amal atau kegiatan sosial lainnya. Hal ini mencerminkan semangat kepedulian dan solidaritas yang diadvokasi oleh Islam, meskipun tidak diatur sebagai kewajiban yang tegas. Bisa saja pemerintah menerapkan kewajiban infaq bagi orang-orang yang bekerja dalam profesi tertentu, dan ini tentunya sah-sah saja, alih-alih menerapkan kewajiban pajak yang sebetulnya malah ditujukan bagi nonmuslim.
Contoh lainnya adalah penentuan bulan hijriyah. Sekian banyak hadis secara tegas menyebutkan bahwa puasa Ramadhan diawali dengan melihat secara empiris (rukyat) hilal Ramadhan dan diakhiri dengan hilal Syawwal. Kemudian, dalam beberapa redaksi hadis juga terdapat penegasan bahwa penggenapan (istikmal) bulan menjadi 30 hari itu merupakan solusi bagi terhalangnya rukyat secara empiris.
Pertanyaannya adalah, apakah zaman wahyu itu belum mengenal ilmu hisab? Jawabannya pasti sudah, karena sejarah dunia telah membuktikan bahwa ilmu hisabnya bangsa Babilonia sejak 2000 tahun sebelum masehi sudah sangat maju, sampai mereka mampu memprediksi gerhana untuk berabad-abad ke depan.
Lantas, kenapa syariat Islam justru menetapkan ketentuan rukyat hilal sebagai syarat sahnya ibadah puasa Ramadhan? Jawabannya bisa kita kembalikan pada pertimbangan historis bahwa pemberlakuan suatu ketentuan dalam syariat sudah tentu mencerminkan kebijaksanaan dan rahmat Allah berdasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang fitrah manusia dan kondisi-kondisi sosial yang berbeda.
Agama itu mudah, sehingga orang-orang di pelosok bumi tertentu yang misalnya tidak pernah mengenal ilmu hisab dapat dengan mudah menentukan kapan saatnya memulai puasa dan kapan mengakhiri. Agama juga sangat mempertimbangkan kondisi alam dan kondisi sosial yang berbeda-beda. Tidak ada kewajiban bahwa penduduk di suatu negeri yang berjauhan dengan negeri lain harus mengikuti hasil rukyat global. Bukankah bumi itu bulat? Bukankah lamanya siang yang menjadi waktu puasa juga berbeda-beda tiap pelosok bumi?
Demikianlah pentingnya kita bersikap bijak dalam konteks memahami sejarah syariat Islam. Intinya, ketika suatu ketentuan telah disyariatkan baik dalam Al-Qur’an maupun hadis, tentu saja hal itu akan berlaku selamanya sepanjang memang tidak dianulir oleh kedua sumber ajaran Islam itu sendiri. Semoga bermaanfaat. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.