Oleh: Ahmad Harisuddin
Sejak dicanangkan tahun 1896, zionisme berkembang secara internasional dengan berbagai bentuknya yang merambah seluruh sektor kehidupan, mulai dari ekonomi sampai budaya. Secara ekonomi, berbagai perusahaan global telah menjadi bagian, atau setidaknya turut andil dalam gerakan zionisme. Inilah kiranya yang perlu diperhatikan dengan seksama.
Ketika hegemoni perusahaan-perusahaan raksasa global yang terafiliasi dengan gerakan zionisme telah merata jangkauannya di seluruh penjuru bumi, difusi kebudayaan pun berlangsung. Sadar ataupun tidak, banyak di antara kita yang kemudian turut menjadi bagiannya. Umat Islam merupakan pemasok tenaga kerja yang cukup banyak bagi perusahaan-perusahaan global tersebut, terutama di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, termasuk kita di Indonesia.
Bukan hanya tenaga kerja, kita juga merupakan konsumen, mitra produsen, dan sebagainya yang saling terkait jalin berkelindan dengan berbagai perusahaan raksasa tersebut. Nah, jika di antara perusahaan global tersebut memang terlibat dengan zionisme, apakah ini juga tidak berarti bahwa kita pun menjadi bagian dari sistem zionistik tersebut? Bagaimanapun jawabannya, namun inilah faktanya.
Di sisi lain, perlawanan terhadap zionisme terus digalakkan, bahkan sejak beberapa dasawarsa silam, mulai dari gerakan politik, militer, sampai ekonomi. Kalau rakyat Palestina seringkali kita saksikan di televisi bahwa mereka melempari batu kepada polisi atau tentara Israel yang seringkali menghalang-halangi mereka untuk beribadah di Masjid al-Aqsa, itu adalah kemampuan mereka. Ya, sebatas itu saja yang mampu mereka lakukan sebagai bentuk perlawanan rakyat sipil kepada militer Israel.
Nah, aksi boikot terhadap produk-produk yang terafiliasi dengan jaringan zionisme internasional tampaknya juga menjadi senjata yang cukup ampuh dilakukan oleh umat Islam di berbagai belahan dunia. Memang, kalau memperhatikan hadis Nabi Muhammad saw. yang berbunyi:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانُ
“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran hendaklah dia mengubah-nya dengan tangannya. Jika dia tak mampu, hendaklah dengan lidahnya; dan siapa yang tak mampu maka hendaklah dengan hatinya, dan yang demikian merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim dari Abi Sa’îd al-Khudriy ra.)
kita tentu dapat memahami bahwa mayoritas umat Islam tidaklah memiliki kekuasaan sebagaimana disimbolkan dengan tangan dalam hadis tersebut yang bisa mengubah kemungkaran Israel dengan drastis. Kita juga tidak memiliki lisan yang mampu menggetarkan dunia untuk bergerak serentak menyetop kezaliman Israel. Nah, kita memang mampunya cuma memboikot, sebagaimana mungkin para pemuda Palestina secara umum hanya bisa melawan zionisme dengan melempari batu.
Kenyataan yang ada jelas sangat dilematis. Dengan gerakan boikot, pengorbanan umat Islam sendiri tidaklah sedikit, apalagi dalam kondisi sekarang di mana kita belum siap secara ekonomi dan politik untuk mampu keluar dari hegemoni zionis tersebut. Edukasi para tokoh Islam terhadap masyarakat awam juga relatif belum efektif, terlebih karena sedemikian sulit untuk memberikan keteladanan yang konsisten terhadap gaya hidup yang bebas dari produk-produk zionistik tersebut. Dunia usaha kita juga belum mampu bersaing secara sportif dalam upaya memproduksi dan mendistribusikan produk-produk nonzionistik. Daya jangkaunya masih relatif rendah baik dari aspek harga maupun branding.
Pada sisi lain, yang menjadi korban boikot adalah para pedagang kecil eceran. Mereka membeli barang dagangan kepada para pengusaha toko grosir dengan pembayaran kontan, sementara para pengusaha grosir mungkin banyak yang menerima barang dagangan dari agen atau distributor secara utang. Artinya, keterkaitan pedagang kecil eceran dengan perusahaan zionis (kalau memang sahih terbukti) boleh dikatakan nyaris tidak ada; berbeda denga pengusaha grosir. Makanya, kalau kita membeli barang ke kios atau warung eceran, toh yang jelas kita menolong ekonomi mereka. Oleh karena itu, seandainya gerakan boikot mau lebih adil, ya seharusnya bisa lebih terkoordinasi dalam sebuah forum atau perkumpulan yang anggotanya bisa ditarik semacam iuran untuk mengumpulkan dana dalam rangka memborong habis produk-produk yang akan diboikot di warung-warung kecil tersebut, sembari memberikan tekanan kepada para pedagang kecil agar untuk sementara mereka menghentikan dulu menjual produk-produk yang menjadi sasaran boikot. Ya, agak cerewet memang; tapi kiranya itu lebih mendekati keadilan dan bukan sesuatu yang mustahil untuk diterapkan sepanjang ada kesepakatan di kalangan perancang aksi boikot.
Aksi boikot memang seharusnya dilandasi oleh ketulusan niat untuk melawan zionisme, bukan sekadar euphoria. Boikot janganlah sampai dijadikan sebagai kampanye hitam dari pihak-pihak tertentu untuk mempromosikan produknya sendiri dengan memanfaatkan isu boikot produk-produk zionis. Sebab, kita sudah tahu bahwa saat ini di pasar ekonomi global sedang terjadi perang dingin antar negara-negara maju yang juga saling boikot. Secara internal, kita tentu juga tidak menghendaki momentum boikot ini dijadikan kesempatan oleh para pengusaha muslim yang membentuk jaringan-jaringan usaha semacam multi level marketing (MLM) dalam pemasaran produk-produk mereka yang kenyataannya masih belum mampu dijangkau secara merata oleh kalangan ekonomi bawah. Bukankah kita masih bisa bersaing secara sehat dengan kompetisi harga dan branding yang luas?
Kalau kita perhatikan salah satu tanda akhir zaman yang disebutkan dalam beberapa hadis, bahwa kemakmuran akan merata di seluruh penjuru bumi, tentu saja hal itu akan berkorelasi positif dengan sistem politik dan ekonomi yang bebas dari zionis sebagai sistem ribawi. Ekonomi dunia akan dipimpin oleh sistem ekonomi Islam. Akan tetapi, kapankah hal itu akan terwujud?
Sekarang, kita memang sudah menyaksikan betapa sistem kapitalisme global yang dikendalikan zionis sudah menuju ambang keruntuhan. Pemerintah Israel dan Amerika Serikat yang katakanlah menjadi pionir zionisme sudah tidak sekuat beberapa dasawarsa lalu. Ekonomi mereka juga terpuruk hebat sebagai dampak peperangan demi peperangan di berbagai lini. Akan tetapi, kita juga harus menyaksikan dalam diri kita sendiri, apakah memang sudah siap untuk menggantikan hegemoni mereka? Wallahu al-musta’ân.