Oleh: Ahmad Harisuddin
Panambayan
Memori persaudaraan antara orang Banjar dan orang Meratus masih sangat melekat pada folklore orang gunung. Mereka yang tinggal di wilayah pegunungan Meratus rata-rata memiliki kenangan yang sulit dilupakan, namun sekaligus sulit untuk dikembalikan seperti sedia kala.
Kehidupan orang gunung pada asalnya adalah kehidupan yang damai. Tidak ada pencurian, apalagi perampokan. Tidak ada prasangka jahat. Orang Banjar yang tempo dulu lazim disebut mereka sebagai orang dagang kerap kali menginap di pondok-pondok orang gunung ketika dalam perjalanan kaki yang melelahkan guna mencapai banua yang jauh.
Sebaliknya, orang-orang gunung yang akan menjual komoditas hutan ke kota-kota baik dengan cara balanting maupun berjalan kaki juga harus beristirahat dan menginap dulu di rumah-rumah orang Banjar sebelum dapat kembali ke balai-balai mereka.
Tetapi sekali lagi hal itu adalah kenangan. Sekarang jangankan sepeda motor, mobil berskala mewah pun sudah dimiliki oleh orang gunung. Dunia dagang bukan ciri orang Banjar lagi, karena zaman sudah berubah. Orang gunung sudah berpacu di segala bidang dengan orang banua. Bahkan, karena peleburan kebudayaan, sebagian orang banua telah menjadi orang gunung, dan sebaliknya orang-orang gunung juga turun menjadi orang banua.
Tulisan ini sekadar mencoba menelusuri sisi luar dari memori kolektif itu. Bagaimana sejarah peleburan itu mengada, di suatu kampung yang menjadi tonggak sejarah penting bagi ikatan persaudaraan keturunan Datu Ayuh dan Palui Anum. Dialah kampung Batung, yang pertama kali penulis telusuri pada tahun 2008 silam. Catatan di bawah ini merupakan penggalan dari hasil penelitian sederhana yang pernah penulis lakukan di Desa tersebut.
Gambaran Umum Desa Batung
Orang yang suka bepergian lewat jalur atas (gunung) tentu mengenal nama daerah yang disebut Batung. Apalagi di daerah itu ada pasar mingguan setiap hari selasa yang ramai dikunjungi konsumen dari berbagai daerah.
Desa Batung saat ini termasuk bagian administratif dari Kecamatan Piani Kabupaten Tapin. Domisilinya terletak di ruas jalan provinsi yang menghubungkan Kabupaten Hulu Sungai Selatan dengan Kabupaten Tanah Bumbu. Jaraknya dengan Desa Miawa sebagai ibu kota Kecamatan Piani adalah sekitar 16 km, sedangkan dengan kota Rantau selaku ibu kota Kabupaten Tapin adalah 32 km.
Adapun batas desanya adalah sebagai berikut:
– Sebelah Utara : Desa Malinau, Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan;
– Sebelah Barat : Desa Harakit;
– Sebelah Timur : Desa Balawaian; dan
– Sebelah Selatan : Desa Harakit dan Desa Munggu
Lahung, Kabupaten Banjar.
Asal-usul kata “batung” [nama sejenis tumbuhan yang termasuk rumpun bambu-bambuan] sebagai nama kampung dan desa dapat ditelusuri sampai kepada zaman Islamisasi massif di Banua Halat, dekat kota Rantau, sekitar penggalan akhir abad XVI M. yang menandai eratnya hubungan genetik antara masyarakat Banjar dengan masyarakat Meratus.
Kampung Batung pada mulanya disebut dengan Tirgatus, yang mengingatkan pada ketokohan seseorang pribumi bernama Tirgatus yang membeli tanah [di lokasi Pasar Batung sekarang] dari seorang tokoh pribumi lain yang bernama Balawaian. Nama tokoh ini kemudian juga diabadikan sebagai nama desa di Kecamatan Piani tersebut. Konon, tanah tersebut hanya dihargai secara barter dengan sehelai kain tapih (sarung). Adapun daerah asal (asli) yang pantas disebut Batung sebenarnya terletak di luar batas Timur desa itu, yaitu sekitar kampung Paniungan. Namun, karena pancangan tiang batung yang dibawa dari Paniungan terdapat di kampung Tirgatus, maka selanjutnya kampung ini disebut dengan nama Batung, dan nama itu melekat hingga sekarang.
Menurut legenda, Datu Ayuh yang merasa diikari (dicurangi) oleh adiknya yang bernama Intingan alias Palui Anum dalam suatu acara selamatan di Mesjid Banua Halat Rantau, melompat sekuat-kuatnya menuju kampung Batung dengan bertumpu pada pinggiran lantai Mesjid itu sehingga akhirnya menjadi terasa miring. (Silahkan baca Legenda Mesjid Banua Halat). Dan ia berikrar dengan sang adik bahwa meskipun berbeda agama, namun ikatan persaudaraan mereka tidak akan terputus, bahkan sampai anak cucu kelak.
Secara tradisional, Desa Batung terdiri atas tiga kampung yang dipisahkan oleh gunung-gunung, yaitu kam-pung Lalapin, Batung, dan Hayangin. Sekarang, di antara kampung Lalapin dengan kampung Batung terdapat kawasan pegunungan yang baru dibuka dan dihuni oleh penduduk yang relatif heterogen, disebut Padang Gariwil. Secara geografis, kampung Batung berada di tengah-tengah kampung lain dan memiliki pasar tradisional yang aktif setiap hari Selasa, sehingga atas alasan ini kiranya ia menjadi pusat desa, sekaligus nama bagi federasi kampung-kampung itu.
Sebagai daerah pegunungan, ketinggian tanah di Desa Batung mencapai 25 meter lebih dari permukaan laut, sebagaimana umumnya desa-desa di Kecamatan Piani. Adapun luas tanah Desa Batung adalah 2.100 Ha2.
Menurut data statistik kependudukan yang direkam dalam Buku Induk Penduduk Desa Batung per Januari 2007, jumlah total penduduk Desa Batung adalah 1.129 jiwa, yang terbagi dalam 346 Kepala Keluarga [KK] dan tersebar pada 4 RT [Menurut informasi Sekretaris Desa, sekarang terjadi pemekaran RT di Desa Batung sehingga menjadi 6 RT].
Penduduk Desa Batung pada umumnya adalah pendatang, yang menurut informasi Kepala Desa setempat, bahkan mencapai sekitar 960 jiwa atau 85 % dari total penduduk. Sebagian besar pendatang berasal dari Provinsi Kalimantan Selatan sendiri; hanya 12 orang atau 4 KK yang teridentifikasi berasal dari luar Kalsel, yaitu Jawa [4 orang], Lombok [4 orang], dan Kalimantan Tengah [4 orang].
Ini artinya, penduduk yang bisa diidentifikasi sebagai penduduk pribumi hanyalah 169 atau 15 % dari total penduduk, dan mereka adalah masyarakat pribumi Meratus yang ketat memegang adat-istiadat leluhurnya. Berdasarkan keterangan Kepala Desa, sebagian besar penduduk asli Batung ini telah bermigrasi secara gradual ke kawasan pegunungan yang lebih tinggi di luar batas wilayah Desa Batung, lantaran merasa kesulitan hidup berdampingan dengan para pendatang, meskipun mayoritas pendatang itu adalah orang-orang Banjar sendiri yang sejak zaman nenek-moyang selalu hidup berdampingan.
Dari segi mata pencaharian, mayoritas penduduk Desa Batung adalah petani dengan komoditas utamanya karet dan padi, disusul oleh penduduk yang masih sekolah, pedagang [swasta], dan pegawai Pemerintah.
Adapun dari segi agama, penduduk Desa Batung merupakan mayoritas Muslim yang disusul penganut agama Kaharingan, dan selanjutnya Kristen.
Hubungan antara Islam sebagai agama mayoritas dengan Kaharingan dan Kristen sebagai minoritas di desa itu tampak terjalin secara harmonis. Interaksi sosial-ekonomi masyarakat yang saling berbeda agama itu juga berlangsung secara wajar dan alami.
Keharmonisan beragama yang unik ini ditunjukkan paling tidak oleh empat indikator berikut:
1. Geografi perumahan penduduk Desa Batung mem-perlihatkan komposisi yang unik dari sudut pandang agama, karena tidak terjadi pengkotakan pemukiman berdasarkan agama tertentu, bahkan sebaliknya perumahan penduduk saling membaur antara mereka yang beragama Islam, Kristen, dan Kaharingan;
2. Data kriminalitas Desa Batung menunjukkan bahwa setiap kasus perkelahian yang terjadi tidak pernah sama sekali mengatasnamakan perbedaan agama, karena memang pada kenyataannya setiap kasus yang ada hanyalah terjadi antara pemeluk agama yang sama, yang dalam hal ini adalah sesama umat Islam dengan beragam motivasi;
3. Masih banyak ditemukan data etnohistoris tentang fenomena konversi agama yang terjadi dalam sebuah keluarga secara parsial, tanpa membawa ke-pada suasana konfliktual; dan
4. Aruh Adat Balian yang digelar di Balai Adat Kaharingan dekat Pasar Batung, dan umumnya digelar setiap tahun sebagai ungkapan rasa syukur pasca panen padi, pada kenyataannya nyaris selalu melibatkan ketiga pemeluk agama tersebut.
Paampihan
Demikianlah sekelumit uraian singkat tentang sisi luar dari memori kolektif persaudaraan orang Banua dengan orang gunung yang mengendap dalam bentuk peleburan kebudayaan di Desa Batung.